Membangun Peradaban dengan Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI) makin masif digunakan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun saat ini kebanyakan AI dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata.
Padahal, Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi melihat AI dapat digunakan secara luas untuk kemanfaatan umat dan masyarakat. Menurutnya, AI dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai terobosan dalam memajukan peradaban.
“Sebagian yang melihat AI hanya dari perspektif financial capital, akan terjebak dalam pikiran untung-rugi saja; apakah AI menghasilkan cuan, atau AI hanya sekedar euforiayang akan redup sebentar lagi, dan bahkan merugi,” katanya.
Ridhi menyatakan bangsa Indonesia seharusnya melihat AI dari sisi lain, seperti dari sisi human capital,social capital, dan intellectual capital. “Ini sebuah cara pandang yang lebih Pancasilais, dan jauh dari materialistis,” kata
Dengan ketiga perspektif tersebut, bangsa Indonesia akan menjadi lebih fokus pada pemanfaatan AI untuk turut membangun peradaban bangsa, baik dari aspek individu, masyarakat, kecerdasan pemikiran, maupun kehidupannya.
“Itu semua sangat mungkin dikejar, jika kita menjadikan AI sebagai salah satu menu utama dari Research and Development, baik di kampus dan di industri, untuk menghasilkan berbagai macam inovasi,” ujarnya.
Untuk itu, bangsa Indonesia butuh banyak terobosan AI dalam hal-hal positif bahkan untuk hal yang kerap dianggap simpel, seperti untuk memperbaiki tutur bahasa anak muda ketika mengirim pesan kepada orang tua, guru, dan temannya.
“Kita butuh AI yang mampu mengenali sekaligus menghapus atau menutup jalur, pornografi, hoax, konten negatif, judol, pinjol, yang masuk lewat sosial media, aplikasi berkirim pesan, game online, dan portal-portal di internet,” paparnya.
Langkah Mahkamah Agung (MA) menggunakan AI untuk memutuskan majelis hakim juga menjadi sebuah terobosan, karena mampu menghindari konfigurasi majelis hakim pesanan.
Dalam hal ini, AI menggunakan beberapa parameter di dalam membuat keputusan. Parameter-parameter ini mewakili berbagai faktor pertimbangan manusia yang dikomputasi secara stokastik, melalui proses optimasi yang berulang hingga ditemukan parameter terbaik.
“Dengan dasar parameter (pertimbangan) paling optimal inilah, model AI memutuskan konfigurasi majelis hakim yang terbaik. Kemajuan komputasi saat ini mengizinkan model AI dilatih dengan jutaan bahkan miliaran parameter,” papar doktor di bidang data science and machine learning Universitas Radboud, Belanda, ini.
Melalui kemajuan teknologi tersebut, mungkinkah sekalian menggunakan AI untuk menggantikan hakim? “Jawaban singkatnya, selama semua aspek dan dasar pertimbangan yang digunakan hakim di dalam memutuskan sebuah perkara itu dapat dikuantifikasi atau direpresentasikan menggunakan angka, maka hal itu mungkin dilakukan,” katanya.
Pada akhirnya, menurut Ridho, model AI dengan parameter paling optimal tersebut mampu menjadi “hakim” yang memutuskan perkara dengan adil dan yang paling penting, tidak bisa disuap seperti ditemui pada oknum penegak hukum kita.
“Pemanfaatan AI di bidang hukum ini barangkali mewakili banyak orang yang berharap keadilan diputus melalui proses yang baik dan semestinya tanpa memungut imbalan sepeserpun,” katanya.
Ridho menambahkan, AI juga dibutuhkan untuk bidang-bidang lain, seperti memperkuat keamanan siber demi meningkatkan kekuatan militer kita, juga membantu dunia kesehatan dan dunia pendidikan kita.
“Kalau kita berhasil melahirkan banyak terobosan AI, kita akan lebih diperhitungkan dalam peta kemajuan global,” tandas master di bidang AI dari dua kampus di Eropa ini.