SUDAHKAN KITA MERDEKA?
Pidato Politik oleh RIDHO RAHMADI sebagai Ketua Umum Partai Ummat, disampaikan pada Peringatan Kemerdekaan RI ke-76, yang diselenggarakan oleh DPP Partai Ummat.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
الْحَمْدُ ِِ رَ ِّ ب الْعَالَمِیْنَ وَال َّ صلاةَُ وَال َّ سلامَُ عَلَى أشَْرَفِ اْلأنَْبِیَاءِ وَالْمُرْسَلیِْنَ وَعَلَى الَھِِ وَصَحْبِھِ أجَْمَعِیْنَ أ َّ مَا بَعْدُ
Yang saya hormati Ketua, pimpinan dan segenap pengurus Majelis Syura, Majelis Pengawas
Partai, Majelis Etik, dan Mahkamah Partai, dan juga yang saya hormati, Ketua, pimpinan dan segenap pengurus DPP, DPW, DPD, beserta DPC; juga semua sahabat dan anggota Partai Ummat, di seluruh Indonesia.
Hari ini kita berkumpul secara virtual, untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76. Mari kita doakan, semoga Allah Swt. memberikan jalan keluar atas semua permasalahan yang melanda negeri ini. Dan izinkan saya mengawali pidato ini dengan sebuah pertanyaan: Sudahkah Kita Merdeka?
Otoriter & Oligarki: the worst of the both worlds
Sudahkah kita merdeka? jika rezim pemerintahan saat ini cenderung otoriter dan partisan. Kita telah menyaksikan bagaimana sikap rezim ini yang cenderung represif kepada rakyat yang oposisi; diwarnai persekusi, demonisasi, pelarangan organisasi-organisasi, dan bahkan penangkapan individu-individu, dipenjara di balik jeruji besi.
Di sisi lain, kepada para pendukungnya yang bertaklid buta, sikap pemerintah cenderung berbalik lunak dan bersahabat. Atmosfer politik partisan begitu kentara di langit ibu pertiwi; Bangsa kita telah dibelah dari atas.
Cara-cara represif dan politik partisan seperti ini; mendukung yang sebagian dan menjatuhkan sebagian lainnya, adalah cara kuno. Dulu cara ini pernah dipakai oleh rezim kolonial dan fasis di Indonesia, sekitar 1 abad yang lalu. Saat itu, organisasi-organisasi penggagas nasionalisme dan kemerdekaan seperti PNI, Partindo, diberangus habis, dan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dr. Cipto Mangunkusumo dipenjara atau diasingkan. Lalu apa bedanya?
Sudahkah kita merdeka? Jika aroma oligarki yang buta moral dan etika, menyeruak kuat di tubuh pemerintah kita. Sekelompok elit oligarki tersebut menghalalkan segala cara demi melindungi kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya. Kepentingan tersebut tidaklah jauh dari satu hal, yang tidak lain tidak bukan namanya adalah uang. Tamak dan serakah, itulah ciri-ciri oligarki di Indonesia.
Mafia
Maka jangan kaget jika para mafia punya cengkraman dan pengaruh yang kuat di negeri ini. Sesungguhnya para mafia dan para elit oligarki tersebut mewarisi DNA keserakahan yang identik; maka sudah barang tentu mereka akan bekerja sama dan saling membuka jalan. Mereka mewarisi mentalitas jahat, the ends justify the means, alias tujuan menghalalkan segala cara.
Para mafia tersebut berlindung dibalik kekuasaan dan tidak jarang bahkan mendikte kekuasaan tersebut dalam banyak dimensi kehidupan nasional. Sehingga kita kenal ada berbagai macam mafia; mulai dari mafia beras, mafia daging, mafia gula, mafia pupuk, mafia terigu, mafia cabe, mafia bawang, mafia minyak, mafia obat-obatan, mafia gas, mafia mineral dan batubara, mafia pajak, mafia hukum, dan lain sebagainya. Sungguh, hancurlah sendi-sendi ekonomi, hukum, sosial, dan politik bangsa ini, dibuatnya.
Komunisme
Sudahkah kita merdeka? Jika kita kembali membuka peti mati komunisme di negeri ini, yang telah lama terkunci, dan membiarkan gagasan-gagasannya kembali bangkit, maka kita menyadari bahwa PKI punya sejarah berdarah di Indonesia. Ingat peristiwa Madiun tahun 1948 dan Gestapu tahun 1965. Dalam sejarah dunia, dalam kurun waktu 100 tahun, kaum komunis telah membunuh 100 juta orang yang dianggap sebagai musuh.
Beberapa oknum di rezim pemerintahan saat ini berusaha memberikan sinyal false negative dengan mengatakan bahawa tidak ada lagi PKI di negeri ini dan menyebarkan pembodohan dengan mengatakan tidak ada lagi negara di dunia modern ini yang menganut komunisme; padahal masih ada China (Super power economy and military), Vietnam, Korea Utara, Laos, dan Kuba yang berideologi komunisme.
Ekonomi
Sudahkah kita merdeka? Ekonomi semakin runyam. Defisit APBN mencapai Rp. 1.006,4 T; jumlah utang luar negeri mencapai Rp. 6004 T (Rp. 310 T datang dari China), sebuah rekor utang luar negeri tertinggi yang pernah diambil pemerintah Indonesia pasca-reformasi. Angka ketimpangan pengeluaran penduduk (atau Rasio Gini) berada di 0.38 pada September 2019, menurun sebesar 0.034 poin dibanding periode yang sama lima tahun sebelumnya.
Tanda-tanda disekuilibrium dan disparitas sosio-ekonomi terlihat semakin kentara dan menganga. Lihat bagaimana 80% Produk Domestik Bruto Indonesia didominasi oleh provinsi-provinsi di bagian Barat Indonesia saja. Padahal Indonesia di bagian timur tak kalah gemah ripah loh jinawi nya.
Lihat bagaimana indeks daya saing global Indonesia, turun dari peringkat 37 pada tahun 2015 menjadi peringkat 50 pada tahun 2020. Lebih buruk ketimbang Malaysia yang ada di peringkat 27 dan Thailand di peringkat 40. Begitu juga indeks pembangunan manusia Indonesia yang turun menjadi peringkat 111 pada tahun 2018, jauh di bawah Malaysia di peringkat 61 dan Thailand di peringkat 77.
Sumber Daya Alam
Sudahkah kita merdeka? Jika pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) begitu serampangan dan kelihatan sekali watak-watak keserakahan dibaliknya. Kontrak karya untuk pengelolaan tambang oleh asing, yang seharusnya dihentikan demi kemaslahatan bangsa, malah diperpanjang, bahkan difasilitasi dengan UU Nomor 3 tahun 2020.
Proses pembuatan RUU tersebut juga sarat kepentingan. Betapa tidak, RUU yang memuat 938 Daftar Inventarisasi Masalah diselesaikan hanya dalam dua minggu secara tertutup di dalam hotel mewah. Padahal RUU tersebut menyangkut kedaulatan negara serta hak 270 juta bangsa Indonesia.
Tahukah sahabat, berapa nilai SDA yang dikuasai para pengusaha tambang, konglomerat dan investor asing? Untuk SDA batubara saja, nilainya lebih dari Rp. 6.000 T. Jika digabung dengan sektor mineral, nilai kekayaan SDA tersebut lebih dari Rp. 10.000 T. Keuntungan bersih yang dinikmati segelintir orang itu bisa mencapai Rp. 60-90 T per tahunnya. Rakyat Indonesia yang 270 juta dapat apa?
Sektor mineral nikel adalah sektor strategis untuk mobil listrik. Mirisnya, pemerintah Indonesia malah memberikan izin kepada beberapa investor China untuk mengelola tambang nikel dari hulu hingga ke hilir. Bahkan pemerintah melarang ekspor nikel mulai Januari 2020, membuat para penambang lokal pribumi terpaksa menjual produk ke perusahaan China dengan harga lebih murah dibanding harga ekspor.
Pendidikan
Sudahkah kita merdeka? Pendidikan, yang sejatinya adalah jalan utama untuk membangun peradaban bangsa yang berkemajuan, kualitasnya terus menurun dan semakin tidak kompetitif. Dalam sebuah studi yang melihat aspek pengelolaan pendidikan, keterjangkauan, aksesibilitas, akseptabilitas, dan adaptabilitas, Indonesia memperoleh nilai 77%; sama dengan Honduras dan Nigeria, di bawah Filipina dan Ethiopia.
Bahkan dari hasil tes PISA pada tahun 2018, Indonesia relatif berada di kelompok bawah; Untuk Matematika, kita ada di urutan nomor 7 paling bawah dari 79 negara. Kemampuan memahami bacaan juga 126 poin di bawah rata-rata negara yang lain. Untuk bidang Science, Indonesia berada di urutan 9 dari bawah; jauh di bawah Malaysia, Vietnam, Brunei, Thailand, apalagi Singapura.
Padahal pendidikan sangatlah penting bagi kita untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya kapital. Tanpa pendidikan yang baik, posisi-posisi penting mulai dari teknis hingga manajerial akan diisi pihak asing; dan sekali lagi, bangsa kita jadi penonton di rumah sendiri.
Kesehatan
Sudahkah kita merdeka? Indeks jangkauan pelayanan kesehatan esensial Indonesia pada tahun 2017 adalah 0.57; sama dengan Rwanda, di bawah persis Tonga dan Samoa. Berdasarkan indeks tersebut kita ada di peringkat ke 157, jauh di bawah negara tetangga kita Thailand, Malaysia, dan Singapura.
BPJS Kesehatan yang diharapkan menjadi standar pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas, malah mengalami defisit sebesar Rp. 6.36 T. Proyeksi anggaran kesehatan di dalam APBN pun relatif kecil jika dibanding Pendidikan; hanya sekitar 6% saja. Belum lagi penggunaan anggaran tersebut lebih berfokus kepada program-program kuratif, bukan program preventif. Padahal mencegah lebih mudah ketimbang mengobati. Namun tentu program-program preventif tidak disukai oleh perusahaan-perusahaan farmasi; karena obat-obat yang dijual tidak akan laku di pasaran.
Papua dan Papua Barat
Sudahkah kita merdeka? Isu keamanan, dan ketidakadilan sosio-ekonomi di Papua dan Papua Barat tidak kunjung diselesaikan. Jangan seperti kata seorang menteri: “Ya kalau orang Papua enggak ada gejolak, bukan orang Papua namanya”. Pernyataan seperti ini mengandung sentimen negatif dan memberikan stigma yang misleading; tidaklah pantas keluar dari seorang menteri yang merepresentasikan pemerintah Indonesia, di mana wilayah Indonesia itu adalah Sabang sampai Merauke.
Untuk menangani permasalahan di Papua dan Papua Barat, sejauh ini pemerintah cenderung melakukan pendekatan keamanan dan militer. Seharusnya pendekatan yang dilakukan lebih mengedepankan dialog dan persaudaraan. Undang-undang otonomi khusus untuk Papua ditolak sebagian besar rakyat Papua; karena dianggap tidak menyentuh substansi permasalahan di sana. Namun pemerintah bersama DPR malah mengesahkan RUU untuk Otsus Jilid II. Jelas, pengesahan ini adalah bentuk pendekatan pemerintah yang cenderung tidak menyerap aspirasi dan tidak mengedepankan dialog.
Ketidakadilan ekonomi di tanah Papua juga begitu menyakitkan. Siang-malam perusahaan asing seperti British Petroleum dan Freeport-McMoran menyedot gas alam dan menambang kandungan bumi tanah Papua, meraup keuntungan yang luar biasa besar; namun hanya sedikit sekali manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Bahkan kontribusi royalti dan pajak untuk APBN dari Freeport-McMoran hanya sekitar 0.8%.
Pemerintahan Megawati pada tahun 2002 juga pernah menjual gas alam cair Tangguh ke China. Panjang kontraknya adalah 20 tahun. Yang menyesakkan adalah harga yang dipatok sangatlah rendah; bahkan pada tahun 2008 harga tersebut hanya seperdelapan dari pasaran saat itu.
Rakyat Papua dapat apa? Merauke Integrated Rice Estate, atas izin pemerintah membagi tanah seluas 2 juta hektar di Merauke kepada 33 perusahaan untuk diolah. Bukan keadilan ekonomi dan kesejahteraan yang didapatkan oleh Rakyat Papua dan Papua Barat melainkan kemiskinan dan kehancuran ekologi. Seorang pakar dari Universitas Papua mengatakan bahwa dalam 30 tahun semua akan musnah. Tiada lagi
yang tersisa kecuali limbah beracun.
Lingkungan Hidup
Sudahkah kita merdeka? Hutan tropika basah di Indonesia dieksploitasi secara besar-besaran melalui Hak Pengusahaan Hutan oleh sekitar 600 perusahaan di areal seluas 64 juta hektar; yang artinya pengrusakan Hutan Alam sudah lebih dari separuh bentangan hutan yang dimiliki negeri ini. Angka yang mengerikan, terlebih jika disandingkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang Indonesia, yang menemukan bahwa lebih dari 44% daratan di Indonesia sudah dikapling sebagai konsesi pertambangan.
Yang sama ironisnya adalah angka deforestasi bruto 2018 hingga 2020 adalah sekitar 584.000 hektar dan reforestasi sekitar 6600 hektar. Ini berarti di tengah upaya dunia untuk memperluas tutupan hutan sebagai paru-paru dunia, Indonesia justru malah melakukan deforestasi.
Sudahkah Kita Merdeka?
Jika yang dimaksud dengan merdeka adalah lepas dari penjajahan dan berdiri sendiri sebagai satu bangsa, maka jawabnya adalah sudah.
76 tahun yang lalu, setelah perjuangan panjang oleh pendiri dan pahlawan bangsa ini, yang pantang menyerah dan tak mengenal lelah, Allah Swt. menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia; berupa sesuatu yang ditunggu-tunggu, yaitu kemerdekaan dari pemerintahan kolonial. Dengan bahagia kemerdekaan itu diproklamasikan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Kita sudah sepatutnya untuk terus bersyukur kepada Allah Swt.
Namun, apakah sudah cukup kemerdekaan berhenti di sana? Belum.
Kemerdekaan tidak cukup berhenti di sana. Para pendiri negeri ini, tidak hanya bercita-cita untuk lepas dari kolonialisme; tapi juga mendambakan kemerdekaan yang diikuti dengan segenap persatuan, kedaulatan yang kuat, tegaknya keadilan, dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah makna kemerdekaan yang sesungguhnya; yang oleh para pendiri negeri ini dirumuskan di dalam UUD 45, yang merupakan konstitusi tertulis, yang mengikat bagi penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga masyarakat, dan seluruh warga negara.
Maka, merdeka juga berarti lepasnya bangsa ini dari otoriterisme dan oligarki; seperti amanah UUD 45 di dalam Pembukaan alinea ke-4, Pasal 27 Ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1.
Merdeka juga berarti bebasnya negeri ini dari para mafia; sehingga tegak demokrasi ekonomi dan tidak ada lagi kartel-kartel monopoli; seperti amanah UUD 45 Pasal 33 ayat 1 hingga 4.
Merdeka juga berarti hilangnya komunisme hingga ke akar-akarnya dari bumi pertiwi ini; seperti amanah UUD 45 di dalam Pembukaan alinea ke-4, dan Pasal 29.
Merdeka juga berarti penggunaan sumber daya alam untuk kemaslahatan segenap bangsa Indonesia; seperti amanah UUD 45 Pasal 33 Ayat 2 dan 3. Bukannya untuk bangsa asing.
Merdeka juga berarti baiknya kualitas pendidikan yang mampu membangun bangsa yang beradab dan berkemajuan; seperti amanah UUD 45 Pasal 31.
Merdeka juga berarti terjaminnya layanan dan program kesehatan yang mensejahterakan masyarakat; seperti amanah UUD 45 Pasal 28H Ayat 1, dan Pasal 34 Ayat 3.
Merdeka juga berarti merdekanya hutan dan alam bumi pertiwi ini dari segala macam kerusakan ekologi; seperti amanah UUD 45 Pasal 33 Ayat 2.
Merdeka juga berarti terwujudnya keamanan dan keadilan sosio-ekonomi di Papua dan Papua
Barat, serta terpenuhinya hak-hak masyarakat di sana; seperti amanah UUD 45 seluruh Pasal 27 hingga Pasal 34.
Belajar Dari Masa Lalu
Paling tidak ada 22 ayat di dalam Al Qur’an yang mendorong manusia untuk “berjalan di atas muka bumi/menjelajahi dan agar memperhatikan bagaimana akhir dari sebuah kaum yang mendustakan kebenaran”. Sebagai contoh, di dalam Al An’am 11
Katakanlah (Muhammad), “Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
Ayat-ayat tersebut mengandung pesan bahwa hendaknya kita belajar dari masa lalu, dari apa yang pernah terjadi di atas muka bumi ini. Dan hendaknya supaya kita mengambil hikmah dan pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Bangsa kita pernah terjajah sekian abad lamanya dan melalui berbagai macam gelombang penderitaan hingga akhirnya merdeka dari penjajahan. Mari kita belajar dari sejarah bangsa ini.
Ada era sekitar tahun 1908 hingga 1926-an, di mana para pendiri bangsa ini secara konsisten membangun dan menggagas ide nasionalisme dan kemerdekaan, dengan membentuk banyak organisasi yang memiliki berbagai macam ideologi. Mulai dari Budi Utomo, Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Aisyiyah, Muslimat NU, Putri Merdika, Wanita Hadi,
Kelompok Studi Indonesia, Perhimpunan Indonesia, PNI, dan lain sebagainya.
Hal ini dapat dilakukan karena salah satu sebabnya adalah adanya perasaan memiliki musuh bersama, yaitu, penjajah asing.
Kemudian ada era sekitar tahun 1926, di mana ada upaya untuk menyatukan perjuangan; sebagai contoh, lewat Perhimpunan Politik-Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) atau para pelajar melalui Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang berhasil melahirkan Sumpah Pemuda, dan juga Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Atas usaha yang bersatu padu inilah, ditambah kerjasama antara semua golongan tua dan muda, bangsa Indonesia kemudian akhirnya memperoleh kemerdekaan.
Belajar dari sejarah bangsa ini; maka yang pertama, kita perlu memahami dan menyebarluaskan apa itu musuh bersama kita.
Sahabatku semua, musuh bersama kita adalah Kezaliman! Sekali lagi, adalah kezaliman; yang merongrong berbagai macam dimensi kehidupan bangsa ini. Mulai dari otoriterisme, oligarki, politik partisan, mafia, komunisme, pengelolaan ekonomi yang amburadul, pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil, pendidikan yang tak mencerdaskan dan tak memberi nilai, pelayanan kesehatan yang buruk, menderitanya rakyat Papua dan Papua Barat, perusakan alam dan hutan, dan semua kezaliman dan ketidakadilan di bumi pertiwi ini.
Mari kita sadarkan seluruh penjuru negeri, tentang musuh-musuh bersama kita tersebut. Seluruh bangsa Indonesia harus tahu. Anak-anak muda harus paham. Kita Partai Ummat harus ambil bagian di garis terdepan; melawan kezaliman dan menegakkan keadilan, demi tercapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Kita Partai Ummat harus berani meneriakkan kebenaran kepada siapapun, tidak pandang bulu. Ingat seruan yang indah di dalam Ali Imran 104
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”
Kemudian di dalam perjuangan ini, Partai Ummat hendaknya menjadi inisiator dan promotor persatuan bangsa kita yang telah dibelah; karena tidak mungkin kemenangan itu didapat jika kita tercerai berai. Seperti yang disampaikan di dalam Ar-Ra’d ayat 11:
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri…”
Juga ayat 90 Surat An Nahl,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dan ingat sahabatku semua, engkau adalah manusia terpilih,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi….”
Betapa mulia, posisi manusia di hadapan Allah Swt; khalifah, perwakilan Allah Swt, terhormat dan bermartabat, diamanahi tugas tertentu untuk membangun kemaslahatan di muka bumi.
Akhir kata, dirgahayu negeriku, maju terus bangsaku, damai bumi pertiwiku, kami Partai Ummat akan berjuang bersamamu, untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan!
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Merdeka!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.